Forum Otomotif Indonesia

Full Version: Pertumbuhan properti di Indonesia - riil atau fake?
You're currently viewing a stripped down version of our content. View the full version with proper formatting.
Setelah beberapa bulan ambil rumah di Grand Wisata Bekasi, ada hal yang mengganjal di kepala saya mengenai perumahan ini. Apakah itu? tidak lain dan tidak bukan adalah sepinya penghuni di kawasan elit ini. Padahal rumah yang terbangun sudah cukup banyak, yang terjual pun hampir 100% (atau malah sudah 100%). kini beberapa cluster di distrik 2 sedang dibangun lagi dan dipasarkan.

Kondisi yang ada, sepi sekali. memang kadang terlihat ada anak kecil yang naik sepeda, tetapi tetap saja rumah yang sudah dihuni baru sedikit. Ada yang berpendapat “ini kan perumahan baru, pemilik rumah baru siap2 mau pindahan”. tapi cluster tempat rumah saya sudah berdiri 1 tahun. Yang dihuni paling baru 40%. Yang sering ditemui adalah tulisan ”dikontrakkan” atau “dijual” yang ditempel di jendela rumah kosong.

Saya mau sedikit berkomentar mengenai langkah developer dalam mengembangkan kawasan Grand Wisata ini, dari kacamata konsumen. Untuk Grup Sinarmas, mohon jangan tuntut saya jika ada tulisan saya yang menyinggung kinerja salah satu anak perusahaan anda dalam menangani perumahan ini. bukan bermaksud promosi negatif loh ^^

Oke, langsung saja. Kenapa Grand Wisata masih saja sepi, berikut analisa saya :

Tak dapat dipungkiri, harga yang ditawarkan oleh developer bisa dibilang cukup mahal. Memang tidak hanya Grand Wisata saja yang menawarkan rumah dengan harga relatif tinggi. kondisi ini juga terjadi di real estate menengah atas lainnya. Pasar yang sangat membutuhkan rumah seyogyanya adalah pasangan suami istri baru atau bujangan. Pada umumnya usia mereka itu masih tergolong muda (di bawah 30 tahun) dan bisa dibilang mereka baru memulai karirnya di tempat mereka bekerja. Di daerah sekitar Grand Wisata, terdapat beberapa kawasan industri besar, ada MM2100, Lippo Cikarang, Jababeka, Hyundai, dll. Para pekerja muda di kawasan2 itu lah sebenarnya yang memang membutuhkan rumah. Tetapi, di kawasan ini tidak banyak perusahaan yang memberikan gaji yang cukup untuk para karyawan muda (entry level) agar dapat membeli rumah Rp 300 juta ke atas. Paling hanya perusahaan besar macam Unilever, AHM, Mattel, atau Epson. Untuk karyawan muda di perusahaan2 manufaktur kelas menengah (yang berjumlah besar), mereka harus menunggu hingga menjadi manajer agar dapat membeli rumah 300 juta-an ke atas. Hal ini membuat para karyawan muda ini membeli rumah di real estate yang menawarkan rumah di bawah itu, seperti Jababeka, Lippo cikarang kelas menengah bawah, villa mutiara, Taman Sentosa, Graha Kalimas, dll.

Lalu siapa pembeli rumah di Grand Wisata? beberapa adalah karyawan muda dari perusahaan papan atas di kawasan industri Bekasi, lalu ada manajer muda yang bekerja di kawasan industri Bekasi, dan ada manajer tua atau pemilik pabrik (orang yang sudah mapan dengan umur yang “mapan” pula) yang ingin pindahan rumah. Orang2 dalam kelompok ini hanyalah setengah dari jumlah pemilik rumah di Grand Wisata. Bisa dibilang, mereka lah yang benar2 memerlukan perumahan Grand Wisata sebagai huniannya.

Lalu siapa pemilik rumah lainnya di Grand Wisata? *tet tot. anda mengulang kata “lalu”* kebanyakan dari mereka adalah para eksekutif muda yang berkarir di Jakarta. Mereka ini yang menjadi target pasar developer. Jika melihat harga tanah di Jakarta yang melangit, pilihan ke luar kota memang sangat baik. mereka “terpaksa” membeli rumah di daerah pinggiran seperti Bekasi, dan beberapa memilih Grand Wisata karena ada akses tol langsung yang dapat memudahkan perjalanan mereka ke kantor di Jakarta. ~Sebenarnya ini permasalahan besar juga. jarak kantor ke rumah sangat jauh (Grand Wisata terletak di km 21 tol cikampek). Seharusnya pekerja di Jakarta itu tinggalnya ya di Jakarta juga. tapi apa daya, apartemen yang bagus di Jakarta berharga tinggi. Terpaksalah berekspansi ke ujung kota. problem kemacetan arah Jakarta pun tak terelakkan. Tau sendiri kan betapa macetnya tol timur Bekasi hingga tol dalam kota ketika jam sibuk, walau sudah ada JORR~

Lalu Kemudian, ada lagi kah pemilik rumah di luar kelompok2 yang sudah disebutkan tadi? Ya. tentu ada. dan mungkin, kelompok terakhir ini adalah kelompok dengan jumlah terbanyak. Mereka adalah…*bunyi snare drum* drrrrrr … mereka adalah… drrrrr…. Penimbun Rumah! *CESS*symbal dipukul* .. ya. penimbun. deskripsi halusnya, orang yang menyimpan hartanya dalam bentuk rumah. Kebanyakan orang mendeskripsikannya dengan berinvestasi properti, walaupun sebenarnya adalah tabungan, bukan investasi. mereka ini umumnya adalah orang2 mapan yang sudah mempunyai rumah. mereka membeli rumah di Grand Wisata hanya sekedar sebagai investasi bagi mereka. Saat ini, berinvestasi di Grand Wisata sangat menguntungkan (bagi investor, a.k.a penimbun), harganya cepat sekali naik. Tahun lalu, rumah tipe 60 masih 200-an juta, sekarang jadi 350 juta.

Dari “investor2″ itu, ada yang merencanakan untuk ditinggali di hari tua. Ada juga yang benar2 murni investor. mereka menyewakan rumah2 yang sudah mereka beli, sambil menunggu harganya naik. Jika sudah naik, mereka jual kembali. Pada saat pintu tol Grand Wisata diresmikan lalu, transaksi penjualan meningkat. rata2 orang ingin mengambil untung dari kenaikan harga rumah akibat dibukanya akses tol langsung. Sungguh disayangkan, harga rumah naik karena ulah investor2 ini (menurut teori dasar ekonomi, demand meningkat, harga jual meningkat). Padahal demand itu datangnya dari investor2 sendiri, bukan dari para pencari rumah yang sesungguhnya. Kondisi ini seperti kasus anthurium atau gelombang cinta yang harganya melambung terlampau tinggi. Padahal pembelinya itu kebanyakan adalah pedagang2 juga yang akan menjualnya kembali. kolektor sejatinya sendiri hanya berjumlah sedikit. Anyways, kondisi ini pun terjadi di real estate menengah atas lainnya. Hal ini sangat menguntungkan bagi developer dan investor, tetapi tidak bagi masyarakat pada umumnya. Ironis, di saat Menteri perumahan rakyat kewalahan dalam menyediakan rumah bagi rakyat, banyak rumah2 hasil bangun developer yang tidak berpenghuni. PR yang berat

Di negara seperti singapura, pemilikan rumah dibatasi loh… jadi nggak mungkin perumahan habis dibeli oleh segelintir orang dan harga meroket tak terkendali.. ini juga sudah diterapkan di negara lain…
Ini juga demi kepentingan pemerintah sendiri yang berkewajiban menyediakan rumah.. sekaligus membatasi kerakusan segelintir orang yang memborong rumah demi investasi pribadi…
Kalau tidak, berapapun rumah dibangun, akan selalu habis, harga semakin tinggi, tapi makin banyak yang gak punya rumah

terkadang pemerintah, kalangan bank, dan masyarakat merasa terjadi peningkatan di sektor properti seiringan dengan kenaikan harga properti yang begitu pesat. Tetapi sebenarnya secara tidak langsung fenomena tersebut justru menggerogoti fondasi perekonomian kita dari bawah.

Salah satu “kenaikan” properti yang membahayakan adalah berdirinya ruko dan pusat perbelanjaan dimana2.

Kenaikan harga ruko atau pusat perbelanjaan menjulang melebihi nilai riil. Hasilnya masyarakat cenderung untuk berinvestasi saja di bangunan, tanpa adanya pergerakan ekonomi secara nyata. karena dengan investasi mereka mendapatkan keuntungan yang hampir sama dengan keuntungan yang diperoleh jika mereka menjalankan usaha di ruko tersebut.. Artinya, perputaran uang pun melemah yang berimbas kepada pertumbuhan ekonomi. Ruko yang menjamur juga rawan akan kredit macet. Kedua hal ini tentunya akan menurunkan perekonomian negara, baik secara mikro maupun makro. Kenapa makro juga, karena menyangkut kestabilitasan moneter negara.

begini, belakangan ini modal asing yang masuk ke Indonesia sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara ini. Jika ekonomi negara mengalami kemunduran akibat pengaruh properti, investor asing tidak sungkan menarik modalnya ke luar negeri. Dampaknya, tak perlu ditanya lagi, kita semua masih ingat kondisi ekonomi di tahun 1998, dimana trilyunan modal asing bergerak keluar hanya dalam hitungan hari, bahkan jam. krismon pun melanda..
Mungkin kita berpikir, masa karena masalah properti ini saja, ekonomi negara bisa menjadi seperti itu. Ya tentu saja bisa. Amrik baru saja mengalaminya.. Jika tidak ada perubahan kebijakan pemerintah terhadap rule berinvestasi properti, kita harus siap2 menghadapi krisis lagi *hiperbolis. tapi ini serius

Memang developernya adalah anak perusahaan ternama, kinerjanya juga bagus dalam mendongkrak nilai properti.. Hanya saja yang saya sesalkan adalah efek sosial dari kebijakan bisnisnya. Yang saya takutkan, kebutuhan riil akan perumahan jauh di bawah kebutuhan investasi, akibatnya rumah yang sudah terjual tidak dihuni, ruko juga kosong, tetapi harga terus melangit.. Kalau sudah begini, tidak saja meberi efek negatif dari segi sosial, tetapi juga dari segi ekonomi.

Kalau dipikir2, kasus ini mirip dengan kasus derasnya “hot money” ke perbankan Indonesia. Tetapi dengan subjek, objek, dan ruang lingkup yang berbeda.
secara kasat mata menguntungkan. tetapi di balik itu kerugian besar menghadang

tulisan saya ini sebenarnya bukan komplain loh..^^ … Ini opini saya mengenai kebijakan para developer besar. Dan yang saya angkat kebetulan grand wisata, karena saya tahu kondisinya langsung..

Tulisan saya ini hanya merupakan sindiran terhadap strategi developer dan aksi “investor2″ yang lebih mengedepankan profit dan mengesampingkan nilai sosial. Saya pikir hal ini juga terjadi di pengembangan residensial lainnya…

Demikian keterangan saya…

Btw, masukan untuk developer grand wisata (jika ada yang baca). buatlah website untuk memperkenalkan perumahan ini. Karena, banyak sekali orang yang search “grand wisata” di google, dan masuk ke blog saya ini. Untuk orang yang membaca sekilas, mengira ini adalah komplain, dan mereka mendapatkan pandangan negatif…huhu

sebenarnya membeli rumah di GW tidak rugi (malah “untung” bagi sebagian kalangan). Yang rugi itu perekonomian di kawasan tersebut.  Kalau mau dianalisa lagi dampak kehadiran perumahan elit terhadap perekonomian daerah sekitar, ada 2 kemungkinan.

Pertama, Pertumbuhan perekonomian kawasan sekitar meningkat. Dengan hadirnya perumahan kelas atas dapat menarik masyarakat kelas menengah atas pindah ke daerah tersebut. Dengan semakin padatnya daerah tersebut akan kalangan elit, kegiatan ekonomi di daerah ini tentunya akan meningkat. Kemungkinan pertama ini dapat benar2 terjadi jika rumah2 yang didirikan developer itu benar2 terisi oleh pembeli. Jika rumahnya banyak yang kosong, ya sama saja, tidak akan ada pertambahan kegiatan ekonomi di sini. Sayangnya perumahan2 kelas atas yang didirikan developer masih banyak yang kosong. Dan walaupun kemungkinan pertama ini terjadi (rumah terisi penuh oleh para pembeli), yang banyak mengambil keuntungan adalah masyarakat kelas atas yang mampu membeli rumah itu. Sedangkan bagi masyarakat kelas bawah, kenaikan harga tanah akibat efek pembagunan perumahan elit memaksa mereka untuk mencari rumah ke daerah yang lebih jauh lagi dari tempat kerja mereka.

Kemungkinan kedua, pertumbuhan perekonomian kawasan sekitar melambat. Kondisi ini terjadi jika rumah2 yang sudah dibeli ternyata tetap kosong. Tidak ada pertumbuhan perekonomian. Nah, yang parahnya adalah kenaikan harga tanah di daerah sekitar membuat kebutuhan hidup masyarakat meningkat. Perusahaan2 yang terletak di sekitar kawasan perumahan itu tentunya merasakan dampaknya. Biasanya, beban per karyawan cukup katakanlah 1 juta perbulan. Tapi karena terjadi peningkatan kebutuhan hidup (terutama biaya tempat tinggal, dan tak menutup kemungkinan biaya2 lainnya), beban per karyawannya bisa menjadi 1,2 juta. Memang tidak besar, tapi perlu diingat, biasanya perusahaan di daerah komuter adalah perusahaan dengan jumlah karyawan yang besar. 1 perusahaan ribuan orang. Tentunya dampak beban karyawan ini cukup memberatkan. Sedangkan perusahaan2 ini adalah motor penggerak perekonomian di kawasan tersebut. ~Berbeda dengan perusahaan kantoran yang lebih mencari lokasi strategis yang dapat menciptakan image, biasanya perusahaan manufaktur mencari lokasi yang terefisien dalam hal pengeluarannya~ . Dampak perlambatan perekonomian ini memang tidak terjadi secara langsung, tetapi lambat laun memberikan pengaruh. Just info, saat ini pertumbuhan industri di vietnam perlu sedikit diwaspadai Indonesia. Biaya produksi yang murah dan jaringan operasional yang lebih baik di vietnam membuat investor2 luar negeri banyak yang memindahkan rencana investasinya dari Indonesia ke Vietnam. sukur2 jika pabriknya tidak tutup dan dipindah ke vietnam.

Alangkah bagusnya jika perumahan elit muncul, tetapi dimaksudkan untuk mewadahi permintaan dari masyarakat yang memang membutuhkan rumah di daerah tersebut.

Saya sedikit kecewa dengan pemerintah yang justru mendorong pertumbuhan sektor properti dengan cara “investasi” ini. Tadi siang saya baru dari Balikpapan. Di bandaranya, ada iklan dari pemerintah kota setempat yang mengkampanyekan pembelian real estate di kota itu sebagai investasi yang sangat bagus. Menurut saya, pertumbuhan sektor properti seharusnya adalah efect dari pertumbuhan perekonomian riil (perdagangan, produksi, jasa, dll), bukan cause untuk memaksakan pertumbuhan perekonomian secara overall.. Terlalu riskan meletakkan sektor properti sebagai ujung tombak perekonomian, apalagi di negara dengan penduduk sepadat Indonesia. Mungkin jika di negara maju yang jumlah warganya sedikit, memiliki lahan yang masih sangat luas, perencanaan pembangunan infrastruktur yang baik, sektor properti bisa dijadikan sebagai unggulan. Indonesia yang tingkat kepadatannya sangat tinggi perlu kehati2an dalam hal perencanaan pengembangan kota / antarkota. Karena jika salah, pengaruhnya pada masa depan sangat besar. Sayangnya, pemerintah justru terbawa arus aktivitas developer yang semakin agresif.

*) Saya tidak sedang membicarakan GW saja lho, tapi juga perumahan menengah atas secara umum..

Grand Wisata hanyalah satu fenomena diantara banyaknya “mega” proyek properti yang pada akhirnya hanya sebagai tempat parkir uang para pembeli (spekulan) properti. Selain di bidang perumahan (kelas menengah keatas), hal ini juga terjadi di sektor2 properti yang lain seperti Apartment, Sentra Bisnis (Ruko, ITC, WTC, etc). Memang pada saat launch, semua unit akan laku terjual tapi apakah setelah itu pembeli akan langsung menempati?Eits…nanti dulu, kebanyakan para pembeli tadi bukanlah orang2 yang butuh tempat tinggal, tapi pembeli yang tujuannya untuk investasi. Kondisi ini akan mengakibatkan banyak uang yang parkir di sektor2 properti, yang tentu saja tidak akan menggerakkan ekonomi di sektor riil.

Memang ada perbedaan antara investor dan pemakai(end user),si investor membeli untuk menjual ulang(gaya spekulan)atau disewakan, berhubung banyak yang berasumsi karena dekat daerah industri maka kemungkinan sewa dari rumah2 di GW menjanjikan, namun apapun alasannya untuk developer2 terutama yang ternama pasti mempunyai komitmen untuk menyediakan prasarana dan fasilitas yang memberi kenyamanana pada penghuninya. Masalah bakal ramai tidaknya adalah masalah nanti dan tidak berhubungan dengan kualitas perumahan tersebut , salah bila dianggap karena sepi maka suatu kawasan properti adalah tidak bagus.

BTw mengenai konsep properti sebagai efek dari pertumbuhan sektor riil dan bukan sebagai ujung tombak ,saya kurang setuju karena Dengan masyarakat menanamkan modal ke sektor properti maka otomatis ada efek domino ke bidang perdagangan dan jasa..otomatis akan meningkatkan usaha bahan bangunan,jasa kontraktor, jasa perbankan, jasa penjualan marketing/broker,jasa kepengurusan pertanahan dll…dan kawasan sekitar pun akan cenderung berkembang terutama untuk perumahan pasti di sekitarnya akan ada minimal warung2 kecil sampai toko2 ukuran sedang hingga besar, bengkel, klinik, usaha warnet, kursus..dan banyak lagi..sebenarnya bidang properti adalah bidang yang unik dan sangat mendukung ke sektor lain dalm hal ini sektor riil selama ditangani dan diatur dengan baik..Selama ini developer cenderung sadar tidak sadar menjadikan investor sebagai MAIN MARKET dibanding END USER,terutama investor jenis spekulan yang membeli untuk dijual kembali saat harga naik sehingga developer membeli lahan2 murah di pinggir kota lalu setelah beberapa waktu menetapkan kenaikan harga yang terlalu cepat dengan margin yang gila2an agar si spekulan tidak merasa rugi membeli properti tersebut … A little advice: kalo mau invest janganlah bergaya spekulan..properti bukan saham atau yang lebih parah lagi dari itu investasi indeks (yang cepat untung cepat rugi)…kebanyakan di luar negeri investasi properti tidak untuk Re-Sell tapi untuk Rental >>>PROPERTY IS A LONG TERM INVESMENT.
THE PRICE OF A PROPERTY WILL BE NATURALLY INCREASED(ini bukan hukum yang baku tapi umumnya harga properti pasti cenderung naik), but IF THE PRICE INCREASE IS ARTIFICIALLY CREATED IT IS A PREMATURE INCREASE>>>>>JADI MBOK YAA SAAAAAAAABARR!!!

gak jelas peraturan di indonesai , satu orang punya rumah 10 unit, yang punya pendapatan pas pasan gak punya rumah sama sekali, habis udah di borong ama yang punya duit sih. setiap pergi ke lokasi, maaf udah laku semua. yang ada tinggal 500 jt. gubrak…..siapa yang mo beli 500 jt. yang 100 juta aja masih KPR . itu juga kalau di approve.

emang nih, yang punya duit lama lama kurang ajar nih. mentang mentang punya duit main hajar aja gak pake perasaan. emang ya kalau dipikir orang indonesia itu gak punya hati ya kadang kadang.
beli rumah buat investasi sementara yang lain buat berteduh aja gak punya.

[img]hxxp://w3.yourpicbox.c0m/images/oukCJGSAe39276.jpg[/img]