Forum Otomotif Indonesia

Full Version: PERMATABANK Di Ambang Kehancuran
You're currently viewing a stripped down version of our content. View the full version with proper formatting.
PERMATABANK Di Ambang Kehancuran
BERSAMA KITA CELAKA

Jika ada orang menanyakan suasana kerja kepada karyawan PermataBank, maka hampir dapat dipastikan jawabannya adalah tidak nyaman, penuh tekanan, serba resah atau  membingung-kan tanpa arah.   Baik yang menjawab secara tegas maupun yang agak plintat-plintut, semuanya mengarah ke termino-logi yang sama, amburadul!  Omong kosong kalau ada yang berkata bahwa semuanya baik-baik saja, serba harmonis dan menjanjikan.
 
Biang Kerok
Siapakah biang kerok dari rusaknya atmosfer kerja di PermataBank?   Tiada lain adalah Standard Chartered Bank (SCB ), salah satu pemilik PermataBank yang hanya memegang 31.55% saham tetapi lagaknya sudah seperti penguasa tunggal yang mutlak dominan.    Padahal, di samping SCB masih ada pemegang saham lainnya yaitu PT Astra International (31.55%), Pemerintah (26%) dan Publik.  SCB bersama Astra sebagai sebuah konsorsium membeli saham PermataBank dari Pemerintah melalui program divestasi.

Mengapa dapat dipastikan bahwa SCB lah biang kekisuruhannya? Jawabannya mudah saja.  Tanyakanlah kepada para karyawan, mana yang lebih "enak", sebelum ada SCB ataukah setelah SCB datang.  PermataBank tanpa SCB pasti dibilang lebih "enak"!

Setelah proses merger, PermataBank secara pelan tetapi mantap menempatkan dirinya di jajaran bank yang terkemuka di Indonesia. Dalam waktu singkat, Permata Bank yang semula membukukan kerugian hampir Rp 400 milyar pada akhir tahun 2002 menjadi meraih keuntungan sekitar Rp 600 Milyar pada akhir tahun 2004.   Sebuah lonjakan kinerja yang dahsyat!  Segenap karyawan bekerja keras memberikan kontribusinya masing-masing dengan arahan yang jelas dari Direksi dan Komisaris.   Tidak berlebihan jika Direksi mencanangkan target keuntungan Rp 900 Milyar pada akhir tahun 2005.  Secara optimis target tersebut dapat diraih mengingat sistem, etos dan budaya kerja yang kian mantap sangat menunjang realisasi rencana kerja dan strategi bisnis PermataBank.

Tetapi malang memang tak dapat ditolak.   Sekitar bukan April 2005 SCB mulai mengendalikan PermataBank, membuat berbagai terobosan, mengganti visi, merubah kebiasaan dan masih banyak lagi inovasi-inovasi dadakan lainnya  ( Pada kesempatan lain perilaku gila dari SCB ini akan diuraikan secara terinci ).  Bagaimana hasilnya? Pada akhir tahun 2005 Permata Bank hanya meraih untung sekitar Rp 300 Milyar, jauh dari target yang ditetapkan!  Angka tersebut bahkan masih lebih rendah dari keuntungan tahun 2003, padahal PermataBank baru beradaptasi setelah mengalami merger.  

Jadi, bersiap-siaplah para karyawan.   Kenaikan gaji dan bonus yang akan kalian terima pada tahun ini sudah barang tentu akan sangat irit dan cekak.  Bermimpilah tentang kenaikan gaji dan bonus pada tahun 2003 dan 2004 supaya kalian sedikit terhibur.   Paling tidak sepanjang kalian tertidur, karena setelah bangun dan terjaga kenyataan yang ada akan sangat memilukan.

Masih banyak rekan2 di bagian Retail Operation Group (NCO) yang gajinya hanya cukup untuk hidup selama 2 minggu dalam sebulan. Jatah kenaikan gaji/bonus dari Management Permata terlalu kecil dan mengikat dengan aturan tambahan yang menyertainya, sehingga karyawan yang punya kinerja Baik sekalipun, besar kemungkinan tidak mendapat apresiasi semestinya. Akibatnya terjadi korupsi dan kanibalisme.

Business Cooperation Agreement (BCA)
Ada baiknya kita kenali terlebih dahulu Business Cooperation Agreement (BCA).  Perjanjian ini dibuat oleh PermataBank dan SCB dengan tujuan untuk mem-bangun sinergi bisnis yang saling menguntungkan.  Istilah "saling meng-untungkan" tersebut hanyalah sekedar jargon kosong karena pada kenyataannya pelaksanaan BCA menguntungkan SCB dan membuat PermataBank tersungkur.    Hal yang diincar oleh SCB adalah jaringan luas PermataBank di lingkungan do-mestik, local customer based yang besar dan produk-produk yang sudah mendapat tempat di pasar dan tinggal menuai income.

Pendandatangan BCA adalah Hans J. Theilkuhl dan Elvyn G. Masassya, keduanya adalah Direktur PermataBank, dan Steward D. Hall yang mewakili SCB. BCA menunjukkan dominasi SCB ter-hadap PermataBank karena ada 2 orang pejabat SCB yang menandatanganinya.  Hans meskipun bertindak selaku Direktur PermataBank tetapi dia adalah ex karya-wan SCB yang ditugasi oleh SCB (selaku pemegang saham) untuk duduk di lini eksekutif mengendalikan PermatBank. Sedangkan Steward adalah CEO SCB cabang Jakarta. Jadi BCA tak ubahnya seperti perjanjian antara SCB dengan SCB!

Perlu dipertanyakan atas dasar kuasa apa dan dari siapakah Steward Hall bisa menandatangai BCA.   Sangat keterlaluan, karena kemudian Steward menjadi Dirut PermataBank!
 
Pemilihan Elvyn sebagai Direktur yang mewakili PermataBank bisa jadi merupa-kan cara untuk menunjukkan bahwa BCA sudah secara sah memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.   Elvyn adalah Direktur Legal & Compliance sekaligus menjabat sebagai Direktur Kepatuhan.  Tetapi kalau isi BCA "berat sebelah" dan cenderung meru-pakan pemerasan oleh SCB kepada PermataBank, apakah Elvyn tidak mengkajinya terlebih dahulu sebelum mem-bubuhkan tanda tangannya? Atau apakah Elvyn bertanda tangan di bawah tekanan SCB?

Walaupun SCB adalah salah satu pemegang saham Permatabank, Permata Bank dan SCB adalah dua entitas bisnis yang terpisah.  Sebagai bank, keduanya merupakan pesaing satu sama lain.   Akan tetapi, BCA nenempatkan PermataBank (salah satu bank terbesar di Indonesia dengan ratusan kantor Cabang) hanya sebagai  bagian dari Divisi Consumer Banking SCB Singapore.    Pantas saja SCB mengubah Visi PermataBank dengan mencantumkan kata "Fokus kepada Consumer Banking dan SME".  Masih dicantumkannya SME pun karena volume bisnisnya besar.   Kalau tidak cukup punya gigi, sudah pasti SME akan dihabisi dan tidak bakal dicantumkan di dalam Visi sebagai bisnis yang harus menjadi fokus.


BCA sebagai Alat Legalisasi
Pada intinya BCA merupakan sumber legalitas bagi SCB untuk memoroti PermataBank.  Terdapat 2 kelompok tran-saksi yang akan dijalankan berlandaskan BCA, yaitu Transaksi A dan Transaksi B.  

Kelompok Transaksi A lebih bersifat pemberian gula-gula dari SCB ke Permata Bank yang disebut SCB sebagai mem-berikan nilai tambah kepada transaksi atau aktivitas yang selama ini dijalankan oleh PermataBank. Termasuk dalam kelompok ini misalnya: SCB memberikan forex line kepada PermataBank; Permata Bank bertindak sebagai 2nd Advising Bank untuk L/C export-nya SCB; Konsolidasi informasi nasabah untuk memperkaya customer profile dan meningkatkan jumlah nasabah; mereferensikan nasabah Permata Bank ke SCB apabila nasabah meng-inginkan produk investasi di luar negeri dalam mata uang asing atau pembiayaan untuk property di luar negeri; SCB memberikan pelatihan mengenai Syariah, Know Your Customer (KYC) dan Anti Money Laundering.   Manis bukan?  Memang. Tetapi, nanti dulu, semuanya itu tidak cuma-cuma.  PermataBank harus membayar at cost atau sesuai dengan market value untuk setiap jasa yang di-berikan oleh SCB.  Sudah diatur di dalam BCA bahwa pihak yang membutuhkan asistensi dari pihak lain harus bersedia membayar jasa. Sebenarnya PermataBank tidak membutuhkan bimbingan SCB tetapi dipaksa untuk butuh dan menjadi tergantung kepada SCB .  Kondisi ini sangat mudah diciptakan karena Direktur Utama PermataBank adalah orang SCB!  

Kelompok Transaksi B lebih menyeram-kan lagi karena berisi program-program dan produk-produk SCB yang harus disukseskan oleh PermataBank -- tentunya untuk kepentingan SCB -- tetapi bekedok technical assistance sehingga PermataBank harus membayar kepada SCB!   Contohnya adalah: pemasaran Manhattan Card, Pemadanan format laporan keuangan PermataBank dengan format milik SCB agar data mudah diintegrasikan ke sistem aplikasi SCB, penerapan konsep ALCO dan pembagian Fund Transfer Pricing (FTP) a la SCB , pemasaran Kredit Tanpa Agunan milik SCB , serta bentuk-bentuk technical assistance lainnya.  

Sungguh kasihan PermataBank, sudah diperbudak untuk kesuksesan SCB masih harus membayar upetinya pula. Coba tanyakan kepada teman-teman di card business isi perjanjian kerja sama pelun-curan produk gagal Manhattan Card.  Di situ tergambar dengan sangat terang ben-derang bahwa hubungan PermataBank dan SCB bersifat simbiosis parasitisma, yang satu menghisap yang lain.  Sudang barang tentu SCB lah benalunya!  Tahukah Anda bahwa Auditor Bank Indonesia mene-mukan adanya kerugian sebesar Rp 950 Milyar yang diderita oleh PermataBank hasil dari transaksi Money Market dengan SCB?   Tahu jugakah Anda bahwa BI juga menemukan adanya kerugian transaksi lain dengan SCB Jakarta sebesar Rp 27 Milyar yang ditutup dengan "menaikkan" cadangan sehingga di Laporan Keuangan tidak terlihat sebagai Loss?

(Celakanya tidak ada transaksi yang tidak lolos dari jerat BCA karena sudah diatur di dalam salah satu pasalnya bahwa semua kegiatan atau transaksi baru, dengan sendirinya sudah menjadi bagian dari BCA sehingga diatur dengan cara BCA).

Kalau PermataBank adalah perusahaan publik yang dituntut untuk transparan dalam menyampaikan informasi, lantas siapa yang mengetahui kalau BCA me-rugikan PermataBank?   Siapa yang me-ngetahui adanya BCA? Apakah Komisaris non SCB tahu? Apakah PPA atau Pemerintah tahu? Apakah Bank Indonesia tahu?   Apakah ASTRA selaku anggota konsorsium pe-megang saham juga tahu?  Apakah publik tahu?  Jangan-jangan me-reka semua tidak tahu!
 
Kalau BCA merupakan landasan ber-sinergi yang saling menguntungkan antara SCB dengan PermataBank, seha-rusnya isi BCA (paling tidak secara garis besar) diinformasikan kepada jajaran manajemen PermataBank sampai ke tingkat GM.  Hal ini wajar, karena para GM adalah driver di unit kerja masing-masing.  Pada kenyataannya para GM hanya mendengar tentang adanya BCA, tetapi tidak pernah mengetahui isinya, apalagi melihat fisiknya. Yang terjadi adalah para GM kebingungan ketika pihak SCB meminta mereka melakukan banyak hal (bisnis dan non bisnis) untuk kepentingan SCB . Sekarang jangan bingung lagi, Bapak dan Ibu GM.  Ter-nyata, semua sepak terjang SCB dilandasi oleh BCA yang sudah menjadi sumber dari segala sumber hukum di Permata Bank ini.



Ini dia: Cost Saving
Jadi, apakah perkongsian antara Permata Bank dan SCB itu menguntung-kan bagi kedua belah pihak?   Jelas tidak!  Sebelum dikuasai oleh SCB, PermataBank adalah running bank yang sehat dan sempat membukukan profit lebih dari Rp 600 miliar. Pada saat SCB datang, Permata Bank sedang berjalan di atas rel Business Plan yang mengarah kepada pencapaian profit tahun 2005 sebesar Rp 900 miliar.  Tetapi apa yang terjadi setelah SCB bercokol?  Profit PermataBank tahun 2005 cuma sekitar Rp 300 miliar!  

Ada seribu satu macam alasan SCB untuk menjelaskan masalah kegagalan mencapai profit yang tinggi tersebut.   Yang paling sering didengung-dengungkan adalah inefisiensi biaya operasional. Permata Bank dinilai oleh SCB terlalu banyak menghambur-hamburkan biaya.   Padahal ketika bertekad untuk menghasilkan nett profit 2005 sebesar Rp 900 miliar, Permata Bank memang sedang menerapkan stra-tegi cost control dan berusaha menurunkan rasio BOPO (nisbah antara Biaya Opera-sional dan PendapatanOperasional).  Hal ini sudah menjadi concern dari Agus Martowardojo selaku Dirut PermataBank pada waktu itu. Semua yang sudah berjalan on the track tiba-tiba berantakan dengan datangnya SCB.

Menurut SCB, PermataBank harus banyak berhemat.  Biaya tinggi harus ditekan atau bahkan dipangkas. Alhasil banyak aktivitas yang ditengerai memakan biaya dihentikan. Kontrak dengan lembaga outsource penyedia karyawan tidak tetap pun diakhiri sebelum waktunya yang berujung kepada pengurangan karyawan kontrak.  Banyak kantor cabang yang ditutup.   Tetapi biaya masih tinggi juga.  Bagaimana itu bisa terjadi? Inilah ja-wabannya.  Karyawan PermataBank dari SCB , baik yang duduk di posisi Komisaris, Direktur, GM bahkan hanya sekedar advisor, memperoleh gaji yang sangat tinggi dan fasilitis melimpah.  Ada yang disewakan apartemen dengan ongkos USD 5,000 sebulan (sementara ada GM PermataBank yang tinggal di Asrama), ada yang disediakan mobil mewah dari Toyota Alphard hingga Mercedez Benz dengan ongkos sewa lebih dari Rp 15 juta sebulan (sementara GM PermataBank cukup naik shuttle), ada juga yang men-dapat tunjangan suami/sitri dan biaya pendidikan anak.  Itu semua atas beban siapa?  Tentu saja Permatabank!  Ingat, BCA sudah menetapkan bahwa SCB berhak menempatkan karyawannya da-lam jangka waktu pendek maupun pan-jang untuk melaksanakan perjanjian atas biaya PermataBank.

Mengapa SCB perlu menekan biaya operasional setinggi-tingginya?   Apakah hanya sekedar mencapai rasio BOPO yang sedap dipandang mata? Jawabannya se-derhana, yaitu untuk memberikan ruang bagi tambahan biaya-biaya yang timbul dari pelaksanaan BCA demi kepentingan SCB.   Termasuk di dalamnya adalah gaji, tunjangan dan benefit karyawan SCB atau rekrutan SCB yang dipekerjakan di PermataBank.

Soal memberi ruang tadi dapat diilus-trasikan secara mudah.   Misalnya saja biaya operasional kita untuk menjalankan kegiatan perbankan adalah sebesar Rp 100 Milyar per bulan.  Tambahan staff cost untuk orang-orang SCB misalnya sebesar Rp 20 Milyar.  Dengan demikian, total Biaya Operasional menjadi Rp 120 Milyar.  Kalau Pendapatan Operasional kita biasa-biasa saja alias tidak ada peningkatan yang significant, rasio BOBO tentu akan meledak. Nah, supaya biaya opera-sionalnya tetap terlihat Rp 100 Milyar (bukan Rp 120 Milyar), maka biaya-biaya tertentu dipangkas hingga sedikitnya Rp 20 Milyar supaya tambahan staff cost SCB yang Rp 20 Milyar tadi bisa masuk.  Per-samaan matematikanya adalah:  (Rp 120 Milyar – Rp 20 Milyar) + Rp 20 Milyar = Rp 100 Milyar.   Cantik!

Alhasil nett profit PermataBank merosot jauh dari cita-cita semula.  Akan tetapi, bagi SCB (khususnya divisi Consumer Banking, Singapore) profit PermataBank yang cuma Rp 300-an miliar sudah me-rupakan prestasi gemilang yang bisa dijadikan alasan untuk menenggak bonus belasan kali lipat dari gaji.   Mengapa?  Karena target keuntungan investasi yang diperoleh dari PermataBank ditetapkan jauh lebih rendah daripada Rp 300-an miliar!   Tentunya ini merupakan sukses besar divisi Consumer Banking SCB Singapore di mata SCB London (kantor pusat).  Bonus bejibun pun menggelontor untuk segenap anggota tim sukses, yaitu Steward, Hans, Nora, Vijay, Doni, Sean dan kawan-kawan rekrutan SCB lainnya.   Hebat bukan? Karyawan PermataBank yang dibuat berdarah-darah kabarnya hanya menikmati bonus rata-rata 0.6 kali gaji, sementara yang menghisap darah mendapatkan minimum 10 kali gaji (Ada karyawan asal SCB yang sempat meng-oceh bahwa di SCB bonus baru menarik kalau besarnya minimum 10 kali gaji!).


Karyawan itu Beban
Mari kita bahas sedikit lebih jauh tentang jurus untuk mengurangi biaya.   Cara yang paling primitif adalah memangkas jumlah karyawan, karena dengan begitu ada banyak biaya ikutan yang bisa dihemat, misalnya: gaji, benefit, tunjangan, lembur dan komunikasi.   Lalu bagaimana dengan pesangon, toh itu juga biaya?  Itu benar kalau pengurangan karywan dilakukan melalui mekanisme penawaran terbuka yang sering diistilahkan dengan "Paket PHK". Paket PHK dirumuskan sedemi-kian rupa sehingga nilai nominalnya akan lebih besar ketimbang kalau karyawan dipecat dengan tidak hormat maupun mengundurkan diri secara baik-baik.  

Apakah SCB akan menempuh cara Paket PHK?   Sudah barang tentu tidak karena semangatnya adalah cost saving di segala bidang! Dalam urusan mem-PHK karya-wan akan ditempuh cara memaksa karya-wan mengundurkan diri atau menjeblos-kan karyawan ke dalam situasi dimana yang bersangkutan menjadi tidak betah, melakukan kesalahan atau tidak berpres-tasi.   Coba Anda cek di tempat masing-masing, sudah berapa banyak karyawan yang diminta atau dipaksa mengundur-kan diri atau dimutasi?

Contoh akal-akalan untuk menciptakan pre-condition pengurangan karyawan ada-lah mekanisme Redeployment dengan kedok alasan mulia untuk menempatkan karyawan ke posisi yang lebih cocok se-hingga bisa lebih berprestasi.  Karyawan yang akan di-redeploy diambil dari tempat kerjanya, dimasukkan ke pool (kandang) di HR, kemudian ditawar-tawarkan kepada unit kerja yang membutuhkan. Bagai-mana kalau tidak ada yang membutuh-kannya? 

Apakah kita akan aman dari PHK?  Ter-gantung, apakah kita termasuk target atau bukan. Yang pasti setiap keberhasilan mengurangi jumlah karyawan (seperti yang dilakukan di cabang-cabang oleh Shared Distribution dan Treasury)  meru-pakan kesuksesan yang pantas ditonjolkan terkait misi cost saving tadi. Yang lebih pasti lagi adalah action plan dari Strategic Inisiative di bidang sumber daya manusia, yaitu mengurangi jumlah karyawan out-source maupun tetap secara konsisten setiap bulan.  Pada bulan Januari 2005 jumlah karyawan tetap PermataBank ada-lah 7.005 orang.  Setiap bulan sudah diren-canakan pengurangan rata-rata sebanyak 70 orang (jumlahnya fluktuatif antara 12 – 120 orang per bulan), sehingga per Desember 2005 karyawan tetap Permata Bank menjadi berjumlah 6.200-an orang.  Total karyawan tetap yang dibuang ada-lah 740-an orang.  Di sisi karyawan kon-trak, jumlahnya akan disusutkan dari 2.800-an orang menjadi hanya 530-an orang. Berapa banyak biaya yang bisa dihemat, kita bicarakan nanti sajalah.  Per-hatikan dulu, PHK karyawan sudah di pelupuk mata!


Soal Isi Kantong
Kembali lagi ke biaya tinggi SCB.  Harap diketahui bahwa biaya yang terkait SCB itu sangat besar.  Mari kita lihat gaji take home pay bulanan beberapa karyawan asal SCB.  Ada seorang ibu yang bergaji Rp 112 juta.  Seorang India yang ahli keuangan bergaji Rp 202 juta, sementara seorang bule yang menguasai Risk Management mengantongi Rp 107 juta.  Seorang bule pindahan dari SCB Jakarta membawa pulang Rp 137 juta, sementara koleganya asal India yang ahli di bidang kredit bergaji lebih besar, yaitu Rp 158 juta.  Sebagai perbandingan, gaji direktur lokal PermataBank tidak sampai menembus angka Rp 100 juta.  Total biaya (gaji saja) untuk 29 orang karyawan SCB atau rekrutan SCB adalah lebih dari Rp 2.5 Milyar.  Belum lagi biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk meng-cover deal-deal tertentu pada saat mereka direkrut, misalnya sewa rumah/apartemen, sewa mobil, tunjangan keluarga, ongkos bolak-balik Jakarta-Singapore atau Jakarta-London dan sebagainya. Ada karyawan rekrutan SCB yang belum genap 6 bulan bekerja di PermataBank sudah bisa men-dapatkan loan karyawan sebesar Rp 100 juta! Ayo, cobalah menghitung kalau mereka memperoleh bonus 10 kali gaji! 

Betapa nikmatnya menjadi orang SCB.  Kabar terbaru, seorang Sekretaris Direktur menyuruh seorang driver PermataBank (tentu saja atas perintah sang Direktur) untuk menjemput pejabat SCB asal Korea dengan mobil PermataBank dari Bandara  Soekarno Hatta ke tempat tujuan.  Di ma-nakah tempat tujuan itu?  PermataBank?  Bukan!  Tetapi ke kantor SCB, rumah makan dan rumah pijat sauna (plus) di bilangan Fatmawati! Asik sekali.  Dia dilayani habis-habisan dengan fasilitas dari PermataBank tapi tidak sedikit pun urus-annya berkaitan dengan bisnis Permata Bank.

Kemana Astra ?
Mengapa selalu SCB, lalu kemana Astra International yang merupakan bagian dari konsorsium dan memiliki saham yang sama dengan SCB ? Jawabannya adalah Astra dipasang hanya untuk melancarkan proses divestasi dan "bemper" jika ada penolakan dari karyawan.  Walaupun ada Direksi Sumber Daya Manusia dari Astra, namun semua kebijakannya selalu dikontrol oleh SCB, buktinya SCB menaruh orangnya dari Malaysia untuk mengurusi kepersonaliaan yang disiasati dengan menaruhkan strukturnya di bawah Direktur Finance, padahal jelas-jelas policy ketenaga kerjaan di Indonesia melarang seorang TKA untuk mengurusi kepersonaliaan.  Bukti lagi, ketika Board Of Director PermataBank harus presentasi ke SCB Singapore urusan sumber daya manusia dilakukan bukan oleh Direksi Sumber Daya Manusia tersebut ! Astra kali ini harus bereaksi karena jelas-jelas bisnisnya yang bermitra dengan PermataBank (Otomotif) sudah menurun karena tidak dipandang oleh SCB, bahkan akan dikurangi ! Ayo Astra, Anda Bisa !

Jadi, apakah SCB mendatangkan keuntungan bagi PermataBank?  Sama sekali tidak!  Apakah yang akan kita lakukan?  Merenunglah dahulu. Yang jelas, kita harus kompak dan bersatu padu menyudahi ketidakadilan dan ketidak-setaraan ini.

Untuk para pejabat negara silahkan periksa proses divestasi PermataBank, disana akan ditemukan terlibatnya beberapa anggota dewan yang di service ke London (Suami Istri) untuk membantu meng-Gol-kan SCB, serta perlakuan istimewanya SCB ketika proses Due Dilligen dilakukan dapat dilihat dari jumlah personil dan fasilitas-fasilitas, divestasi PermataBank yang ke-2 tidak menjadi prioritas SCB, menunggu pemeriksaan KPK ke PPA selesai, mungkin ada ketakutan permainan kotornya pada divestasi pertama diketahui.

Kepada aktivis Mahasiswa dan Organisasi Kerakyatan seperti Partai Rakyat Demokratik, BEM se-Indonesia, FORKOT, FKSMJ, FAMRED, LMND serta aktivis Organisasi Islam  seperti Front Pembela Islam, FBR, Partai Keadilan, Hizbuttahir, anda bisa lihat dari sisi nasionalisme dan kapitalisme, jangan sampai negeri ini menjadi sapi perah kaum kapitalis.

Jika diantara anda ada yang menginginkan bukti-bukti apa yang telah dijabarkan disini, silahkan reply dan sebutkan ke alamat mana harus dikirim semua dokumen tersebut, pastikan anda tidak melewatkan info-info selanjutnya pada edisi selanjutnya    [mimin ]





SCB DAN BCA:
MUSANG BERBULU DOMBA


Bulan Maret yang lalu perusahaan-perusahaan publik membeberkan laporan keuangan mereka di koran.  Bacalah Bisnis Indonesia edisi Rabu/29 Maret 2006 halaman B3.  Di situ ada Laporan Keuangan Konsolidasi PermataBank.  Bagi yang tertarik menganalisis Neraca dan Laporan Laba Rugi, silakan mempelajarinya secara rinci sambil memencet-mencet tombol kalkulator untuk memastikan bahwa kinerja keuangan PermataBank tahun 2005 menurun kalau dibandingkan dengan  kinerja tahun 2004! 

Menurun?  Ya!  Jangan cepat terbuai dengan klaim Dirut PermataBank Steward Hall tentang pertumbuhan kredit, kenaikan Net Interest Income atau lonjakan pendapatan operasional.  Sebelum menelusuri terlalu banyak angka, lihat saja dulu PENURUNAN yang drastis dari Profit, Return on Equity (ROE) dan Laba Bersih per  Saham.  Ini sudah cukup untuk menunjukkan adanya penurunan kinerja.

Kalau Anda ingin meneliti penyebab memburuknya financial performance PermataBank, jangan bingung-bingung mau berangkat dari mana.  Siapa lagi biang keladinya kalau bukan manajemen asal SCB dan para rekrutannya.  Di bawah pengelolaan mereka, Bank Permata ibarat turun derajatnya menjadi bank gundu.  Permata itu batu mulia sementara gundu cuma mainan dari kaca.


Laba Anjlok dan Biaya Bengkak
Sekarang mari kita lihat saja Laporan Laba Rugi.  Cukup dilihat bank-nya saja, tidak usah konsolidasi. Laba rugi ( profitability) merupakan indikator yang paling mudah untuk melihat keberhasilan bank mengelola asset dan mengembangkan usaha.  Sederhana saja, bank yang untung itu sehat, yang rugi penyakitan.  Kalau tahun lalu bank untung besar tetapi tahun ini keuntungannya merosot tajam, bisa diduga ada yang tidak beres di dalam bank itu. 

Laba bersih Permata Bank tahun 2005 anjlok 53% dibandingkan dengan laba tahun 2004,  dari Rp 622,72 Miliar menjadi Rp 295 Miliar.  Menurut keterangan Steward penurunan tersebut terjadi akibat kerugian mark-to-market nilai Obligasi Pemerintah, pembayaran pajak yang lebih tinggi dan kewajiban menyediakan pencadangan bagi kredit bermasalah. 

Memang gampang mencari kambing hitam.  Seolah-olah hanya 3 hal tadilah yang menyebabkan melorotnya laba PermataBank.  Kerugian mark-to-market "hanya" menyumbangkan beban sebesar Rp 57,6 Miliar.    Sementara total beban pajak "hanya" Rp 94,9 Milyar dan Beban Penghapusan Aktiva Produktifnya "cuma" Rp 57,5 Miliar.  Hanya itu yang diangkat ke permukaan.  Padahal masih ada yang lebih menyolok mata, yaitu Biaya Administrasi/Umum sebesar Rp 655 Miliar dan Biaya Personalia sebesar Rp 656,5 Miliar!  Dibandingkan dengan nilainya pada akhir tahun 2004, Biaya Administrasi/Umum MELONJAK Rp 177.7 Milyar (27%) dan Biaya Personalia MEMBENGKAK Rp 162,5 Milyar (25%)! 

Pertanyaan yang mendasar adalah: Mengapa ketika sudah dilakukan cost cutting habis-habisan, biaya masih tetap tinggi juga? Hal ini pantas menimbulkan keheranan.    Beberapa karyawan dari sebuah ex legacy bank bercerita bahwa mereka sudah sangat kenyang dengan program-program pengiritan, tetapi hasilnya positif.  Bisa dilihat di dalam laporan keuangan bahwa rasio Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional (BOPO) bisa diturunkan dari tahun ke tahun.  Tetapi sekarang?  Banyak training dihentikan, ratusan karyawan outsources disudahi kontraknya sebelum jatuh waktu, promosi/iklan sangat dibatasi, mobil dinas diganti  dengan shuttle supaya bisa ditumpangi berombongan, outing karyawan distop kok biaya operasional malah menjadi lebih tinggi dibandingkan tahun lalu? 

"Sial dah, alamat ga bakalan terima bonus ato naik gaji nih", keluh seorang karyawan setengah mengumpat.  "Balik lagi ke jaman susah dong.  Sudah enak-enak bank ini dipegang Pak Agus, tiap tahun dapet bonus;  Giliran dipegang bule kok malah jadi ancur gini!", karyawan lain menimpali seraya bersungut-sungut.

Keheranan tentang berbanding terbaliknya penghematan dengan penurunan biaya akan terjawab jika kita mempelajari Business Cooperation Agreement (BCA) antara SCB dengan PermataBank.  Perjanjian berkedok sinergi tersebut cenderung berat sebelah karena pada prakteknya terlalu menguntungkan SCB.

Jika dibaca sekilas, BCA mengatur dijalankannya transaksi-transaksi tertentu untuk keuntungan kedua belah pihak.  Tetapi sebenarnya isi BCA sudah diatur sedemikian rupa sehingga banyak memberikan ruang bagi SCB untuk memanfaatkan PermataBank.  Paling tidak, pengkondisiannya tercermin di dalam jenis-jenis transaksi yang diperjanjikan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak.  Kebanyakan dari transaksi-transaksi tersebut lebih demi keuntungan SCB! (Bacalah artikel sebelumnya "Bersama Kita Celaka". Min).  Karena PermataBank dikuasai oleh SCB, maka BCA tak lebih daripada sebuah perjanjian antara SCB dengan "SCB".  Tentu saja lebih menguntungkan SCB!


Perjanjian Kerjasama atau pemerasan?
Hal yang paling keterlaluan adalah diposisikannya PermataBank sebagai pihak yang membayar lebih banyak apabila terdapat biaya-biaya terkait transaksi.  Hal ini diatur secara lebih terinci di dalam perjanjian-perjanjian pelaksanaan transaksi.  Sebagai contoh, cobalah membaca Perjanjian Kerja Sama mengenai Manhattan Card.  Dari situ Anda akan mengetahui kalau PermataBank menjadi bulan-bulanan SCB!  Kendati di dalam BCA terdapat klausula bahwa pihak yang tidak sepakat dengan biaya transaksi (diistilahkan dengan "Nilai Pasar Wajar) berhak meminta pendapat dari penilai harga independen, kecil kemungkinan PermataBank akan memanfaatkan hak ini.  Kenapa?  Karena PermataBank sudah menjadi "Permata SCB".  PermataBank sudah dikuasai oleh SCB dan terkonsolidasi ke SCB!  Mana berani Direktur Utama PermataBank yang berasal dari SCB menolak permintaan SCB. 

Dalam hal transaksi bersifat asistensi, PermataBank lah yang diharuskan berguru kepada SCB.  Apakah akan berlaku sebaliknya, SCB meminta asistensi kepada PermataBank?  Tidak.  Karena sejak awal SCB sudah menyatakan diri sebagai bank berskala internasional, sehingga merasa berhak mengajari PermataBank dengan international best practice supaya lebih gaul di pasar global.  Hal ini sejalan dengan pernyataan Steward Hall dalam banyak kesempatan pertemuan dengan karyawan bahwa SCB akan membantu PermataBank meningkatkan benefit sehingga bisa menjadi bank dengan jaringan global.   

Keterlaluan!  PermataBank dianggap inferior oleh SCB hanya gara-gara berskala operasi nasional.  Padahal PermataBank adalah bank yang terpandang di Indonesia dengan prestasi dan keunggulan yang sudah terbukti.  Bahkan dalam banyak hal justru lebih unggul daripada SCB sendiri.  Lantas, apakah SCB tidak mau belajar dari PermataBank?  Sebetulnya SCB sudah belajar dari PermataBank, tetapi dengan cara mencuri-curi!  Pada saat Tim SCB melalukan Peer Review, mereka mencatat praktik-praktik operasional a la PermataBank yang dapat diterapkan di SCB.  Berkedok sedang melakukan review, SCB sebenarnya sudah menangguk ilmu dari PermataBank tanpa harus membayar biaya asistensi.  Justru PermataBanklah yang mengongkosi SCB!


Pemalakan
Biaya-biaya tinggi yang timbul selama pengelolaan PermataBank oleh SCB sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan BCA.  Marilah kita lihat contoh-contohnya.

Manhattan Card .  SCB mempunyai produk Manhattan Card yang ditargetkan untuk ratusan ribu calon pemegang kartu redit.  Karena jumlah nasabah PermataBank jauh lebih banyak daripada nasabah SCB Indonesia dan distribution channel PermataBank sangat luas, SCB mengalihkan launching dan marketing Manhattan Card ke PermataBank. 

Apa yang diperoleh PermataBank dari bisnis ini? Tiada lain kecuali kerugian!  Pertama, PermataBank dipaksa memasarkan kartu kredit yang bukan produknya sendiri dan di pasar akan menjadi pesaing bagi produk PermataBank Visa dan Master Card.  Kedua, meskipun ikut memperoleh bagian dari annual fee dan interest income, PermataBank harus membayar ratusan juta Dollar joint fee atas keikutsertaannya mendagangkan Manhattan Card.  Ketiga, peluncuran Manhattan Card dengan acara yang gebyar-gebyar menelan biaya milyaran Rupiah ditanggung oleh PermataBank.  Keempat, bisnis Manhattan Card ternyata gagal menarik minat nasabah alias tidak laku sehingga berhenti dipasarkan;  Alih-alih menangguk laba, PermataBank malah menanggung rugi karena "belum balik modal".  Belum lagi soal reputasi PermataBank karena memasarkan produk gagal.  Kelima, semua aktivitas dalam rangka memasarkan Manhattan Card mendompleng infrastruktur dan tenaga kerja PermataBank, tentu plus duitnya pula.  Ratusan tenaga kerja outsource direkrut khusus untuk urusan Manhattan Card ini.  Keenam, SCB masih meminta jatah fee dari nilai account payable  padahal  sudah mujur produknya dipasarkan oleh PermataBank. Ketujuh, kalau penjualan Manhattan Card sampai gagal, SCB akan melego hak franchise yang semula dipegang oleh PermataBank kepada pihak lain (jangan-jangan PermataBank juga harus membayar denda!).  Lihat, betapa SCB selalu bisa mencari untung, sementara PermataBank yang kebagian buntung!

Joint Audit .  Beralasan untuk membangun sinergi, SCB getol membuat kegiatan yang bernama joint ini atau joint itu, misalnya Joint Audit.  Tentang Joint Audit, belum lama ini sekelompok auditor dari SCB datang ke PermataBank.  Bersama dengan auditor intern mereka melakukan pemeriksaan secara menyeluruh ke unit-unit kerja dan menghasilkan banyak temuan.  Yang keterlaluan, temuan-temuan tersebut tidak merujuk kepada peraturan Bank Indonesia atau kebijakan/prosedur PermataBank, tetapi kepada kebiasaan yang dilakukan oleh SCB!  Lebih keterlaluan lagi, para Direktur dan General Manager dikejar-kejar deadline untuk menindaklanjuti rekomendasi atas temuan tersebut.  Alhasil para GM bahkan Direktur menjadi kelabakan sendiri, seolah-olah mereka itu memang melakukan kesalahan karena tidak menuruti aturan SCB.  Padahal mereka sama sekali tidak melanggar ketentuan internal maupun peraturan BI!    Ini namanya imperialisme gaya baru.  SCB sudah menerabas teritori.  Ingat, Permatabank dan SCB adalah 2 entitas yang berdiri sendiri-sendiri. 

Pada kegiatan Joint Audit tempo hari, auditor PermataBank lebih berperan sebagai pendamping dan Auditor SCB lah yang mendominasi.  Pada akhir acara, Rp 120-an juta ditagih oleh SCB ke PermataBank untuk ongkos akomodasi dan transportasi.  Jangan heran, karena semuanya sudah diatur di dalam BCA!  Lantas kapan auditor PermataBank bisa gantian mengaudit SCB?  Kata Koes Plus, "Kapan ... Kapan ..."

Menyusul Joint Audit akan ada lebih banyak lagi bentuk-bentuk kegiatan bersama untuk kepentingan SCB tetapi dibayar oleh PermataBank; misalnya Joint Operation (menggunakan CBO PermataBank untuk menangani transaksi milik cabang SCB di Indonesia), Treasury Online (menghubungkan sistem di Dealing Room PermataBank dengan SCB), Joint Credit Operation (mengkombinasikan credit operation PermataBank dan SCB), Joint Card Production (meng-outsource-kan pembuatan credit card SCB ke PermataBank), ATM Direct Connection (menyambungkan ATM SCB di Singapore dan ATM Permatabank sehingga transaksi di-route secara langsung ke PermataBank bukan melalui Visa!) dan masih banyak lagi.  Timbang-timbanglah sendiri untung ruginya.

Peer Review.  SCB menganggap dirinya bank yang sarat keunggulan karena pengalamannya selama ratusan tahun sebagai bank tingkat internasional.  Oleh karena itu, SCB merasa diri perlu menaikkan derajat PermataBank yang selama puluhan tahun cuma berkutat di pasar domestik.  Caranya adalah dengan melakukan review atau technical assistance.  Seolah-olah PermataBank ini adalah bank yang terbelakang sehingga para karyawannya harus diajari banyak hal supaya bisa lebih maju.  Padahal, kembali ke Laporan Keuangan 2005, secara kasat mata bisa dilihat bahwa pengelolaan oleh SCB justru menghasilkan kemerosotan.

Banyak unit kerja yang sudah di- review oleh tim dari SCB.  Sebut saja CBO, Trade Finance, Treasury, Treasury & International Operation, Corporate Legal, IT dan Human Resources.  Dalam acara review, tim SCB memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk perbaikan.  Namanya rekomendasi, seharusnya bisa dituruti bisa juga dikesampingkan.  Yang dapat dijalankan tak ada salahnya diterapkan, sementara yang mengada-ada diabaikan saja. Nyatanya, semua rekomendasi seperti bersifat paksaan, sehingga mau tidak mau harus dilaksanakan.  Bisa dimengerti, karena jika tidak dilaksanakan maka SCB akan sulit mengintegrasikan "cara main" SCB ke sistem PermataBank.  Ini adalah embrio merger atau akuisisi, sejalan dengan sangat bernafsunya SCB meraup semua saham PermataBank yang saat ini masih dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.  Jadi perlu diwaspadai! 

Seperti halnya Joint Audit , kegiatan review juga bukan gratisan.  Sebagaimana diatur di dalam BCA, setelah "dibikin pintar" PermataBank harus membayar semua ongkos hotel, makan siang malam dan transportasi para konsultan.  "Siapa sih yang nyuruh mereka datang kemari.  Kita kan gak ngundang?  Tanpa mereka ajaripun, kita gak ada masalah kok.  Enak aja mereka tiba-tiba datang, tahunya minta bayaran!" keluh seorang karyawan yang kesal.  Benar.  Soal kedatangan tim SCB itu tidak ada unit kerja atau GM yang mengundang.  Tetapi apa daya.  Dengan BCA, apapun bisa dilakukan oleh SCB.  Bisa diduga bahwa yang merestui kedatangan tim SCB adalah Direktur Utama PermataBank yang mantan CEO SCB Jakarta itu.


Kebetulan nubie nasabah Permata Bank..
Selama ini merasa nyaman karena beberapa kelebihan dibanding bank besar lainnya seperti Bank Mandiri dan BCA.
kenapa nubie milih Permata bank?
1. Tidak terlalu rame tetapi ada disetiap kota, sehingga nasabahnya tidak terlalu banyak. Saat kita memerlukan datang ke bank Permata, rasanya nyaman dan cepat karena tidak terlalu antri.
2. Link ATM Permata justru lebih luas dari bank-bank besar. Contoh : Dari permata bisa link dengan BCA, bank mandiri, dan bank-bank besar lainnya. Hal ini sangat membantu ketika harus transfer dsb ke bank2 lain. Ya meskipun kita dikenakan biaya tambahan.

hal tersebut membuat nubie betah jadi nasabah di bank permata.

Dengan kondisi TS sebutkan tadi gimana ya? Apakah ada pengaruh buat nasabah?